Catatan
“Siapa nih Jubing?” Mungkin ini yang ada di benak kalian ketika pertama kali mendengar nama Jubing Kristianto. Saya sendiri baru pertama kali melihat Jubing seingat saya sekitar akhir 2003 atau awal 2004 di TVRI. Ketika itu Jubing tampil dalam sebuah acara yang dibawakan oleh Jaya Suprana. Saya langsung terkesan dengan permainannya ketika beliau memainkan lagu andalannya, “Mission Impossible” dan seingat saya begitu juga yang dirasakan oleh Jaya Suprana yang ketika itu melihatnya dari dekat.
Nama Jubing pun lama kelamaan mulai saya jarang dengar tapi pada awal tahun 2005 saya jadi teringat lagi ketika saya melihat sebuah partitur solo gitar lagu “You Raise Me Up” yang dipopulerkan oleh Josh Groban yang pada saat itu sangat populer. Di kanan atas partitur itu saya melihat sebuah nama Jubing Kristianto. Hal itu membuat saya teringat satu hal dimana Jubing mengatakan di acara TVRI tersebut bahwa aransemen-aransemen lagu yang beliau pernah buat dapat kita download secara bebas dan gratis di websitenya yang beralamat di www.geocities.com/jubing. Saya akhirnya mencoba membuka website tersebut dan ternyata benar Jubing menyediakan aransemen-aransemen solo gitar yang pernah dibuatnya tapi anehnya saya melihat di sana tidak ada partitur lagu “You Raise Me Up” yang saya dapatkan (bahkan sampai sekarang). Karena saya ingin mendengarkan contoh permainannya saya pun ‘nekat’ mengirimkan pertanyaan ke alamat e-mail nya. Tak saya duga e-mail saya beberapa hari kemudian dijawab. Dari sinilah saya merasa bahwa Jubing merupakan sosok seseorang yang terbuka. Bahkan sekarang pun saya sering menanyakan sesuatu kepadanya dan semuanya dijawab dengan sabar.
Ketika saya memutuskan untuk menulis minibiografinya, saya pun perlu meminta izin terlebih dahulu kepada beliau. Saya mengirim e-mail saya pada hari Sabtu tanggal 10 Februari dan dibalas beliau hari Senin tanggal 12 Februari, saya tidak kira akan dibalas secepat itu. Tidak disangka, permohonan saya untuk menulis minibiografinya diperbolehkan. “Kalau ada pertanyaan e-mail saya saja!“ itulah yang dikatakan beliau di akhir balasannya. Memang benar perasaan saya, Jubing memang seseorang yang cukup terbuka.
Christian Shalim
“Siapa nih Jubing?” Mungkin ini yang ada di benak kalian ketika pertama kali mendengar nama Jubing Kristianto. Saya sendiri baru pertama kali melihat Jubing seingat saya sekitar akhir 2003 atau awal 2004 di TVRI. Ketika itu Jubing tampil dalam sebuah acara yang dibawakan oleh Jaya Suprana. Saya langsung terkesan dengan permainannya ketika beliau memainkan lagu andalannya, “Mission Impossible” dan seingat saya begitu juga yang dirasakan oleh Jaya Suprana yang ketika itu melihatnya dari dekat.
Nama Jubing pun lama kelamaan mulai saya jarang dengar tapi pada awal tahun 2005 saya jadi teringat lagi ketika saya melihat sebuah partitur solo gitar lagu “You Raise Me Up” yang dipopulerkan oleh Josh Groban yang pada saat itu sangat populer. Di kanan atas partitur itu saya melihat sebuah nama Jubing Kristianto. Hal itu membuat saya teringat satu hal dimana Jubing mengatakan di acara TVRI tersebut bahwa aransemen-aransemen lagu yang beliau pernah buat dapat kita download secara bebas dan gratis di websitenya yang beralamat di www.geocities.com/jubing. Saya akhirnya mencoba membuka website tersebut dan ternyata benar Jubing menyediakan aransemen-aransemen solo gitar yang pernah dibuatnya tapi anehnya saya melihat di sana tidak ada partitur lagu “You Raise Me Up” yang saya dapatkan (bahkan sampai sekarang). Karena saya ingin mendengarkan contoh permainannya saya pun ‘nekat’ mengirimkan pertanyaan ke alamat e-mail nya. Tak saya duga e-mail saya beberapa hari kemudian dijawab. Dari sinilah saya merasa bahwa Jubing merupakan sosok seseorang yang terbuka. Bahkan sekarang pun saya sering menanyakan sesuatu kepadanya dan semuanya dijawab dengan sabar.
Ketika saya memutuskan untuk menulis minibiografinya, saya pun perlu meminta izin terlebih dahulu kepada beliau. Saya mengirim e-mail saya pada hari Sabtu tanggal 10 Februari dan dibalas beliau hari Senin tanggal 12 Februari, saya tidak kira akan dibalas secepat itu. Tidak disangka, permohonan saya untuk menulis minibiografinya diperbolehkan. “Kalau ada pertanyaan e-mail saya saja!“ itulah yang dikatakan beliau di akhir balasannya. Memang benar perasaan saya, Jubing memang seseorang yang cukup terbuka.
Christian Shalim
Maret, 2007
Tepuk tangan dan decak kagum para penonton memenuhi ruang auditorium itu dengan sangat riuh. Saat itu juga terlihat seorang pemuda memberikan hormat kepada para penonton dari atas panggung dengan sebuah gitar di genggamannya. Mereka terpukau karena sebuah atraksi yang telah dilakukan pemuda tersebut dengan gitarnya itu. Sulit dipercaya memang, ternyata pemuda itu baru saja memainkan sebuah lagu ciptaan Lalo Schriffin yang tidak lain dan tidak bukan adalah lagu tema dari film Mission Impossible tentu saja dengan alat musik yang digenggamnya itu, gitar. “Gila, lagu kayak gitu bisa dimainin di alat musik kecil kayak gitu sendirian!” mungkin seperti itulah pikiran penonton ketika itu yang terpana dengan permainan gitar solo dari seorang Jubing Kristianto.
Bukan jalan yang mudah bagi seorang Jubing untuk dapat dihargai penonton seperti itu berkat kemampuannya. Seperti halnya manusia biasa, walaupun Jubing sangat berbakat dalam hal permainan gitar klasik dan bisa dibilang alami tetap saja beliau harus belajar.
Perkenalan Pertama dengan Gitar
Jubing lahir pada tahun 9 April 1966 dalam sebuah keluarga sederhana di Solo, Jawa Tengah, Jubing terlahir sebagai anak sulung dari 6 bersaudara. Ayahnya mencari penghasilan dengan membuka warung soto dan ibunya berusaha untuk menambah penghasilan keluarga dengan membuat kue-kue yang kemudian akan dititipkan ke toko. “Pernah juga Ibu saya bikin boneka-boneka beruang dari kain,” sahutnya dalam e-mail yang dikirim kepada saya.
Perkenalan Jubing dengan gitar pertama kali terjadi pada sekitar tahun 1978 dimana ketika itu Jubing masih kelas 5 SD di SD Kebon Dalem, Semarang. Ketika itu ayah Jubing baru membeli sebuah gitar buatan Solo. Semasa mudahnya, ayah dari Jubing adalah pemain band di Semarang. Sedangkan ibunya beberapa kali menyanyi diiringi band ayahnya. Mereka berdua dapat bermain gitar dari otodidak (belajar sendiri tanpa pembimbing). Jubing terkesan dengan gitar ketika ayah dan ibunya memainkan sebuah komposisi gitar tunggal sederhana lengkap dengan melodi, bas, dan ritemnya. Mereka sendiri tidak tahu apa judul dan komposer lagu tersebut. Dari sana Jubing semakin giat belajar gitar dengan memencet akord-akord dan melodi-melodi lagu terkenal dari kedua orangtuanya. Lagu pertamanya yang dapat dikuasai adalah iringan lagu “Lihat Kebunku” yang hanya menggunakan 2 macam akord saja yang diajarkan oleh ibunya. Selain belajar dari orangtuanya, Jubing juga belajar dari sebuah majalah yang bernama Top Chords, majalah yang memuat lirik lagu-lagu barat dan Indonesia lengkap dengan akord dan diagramnya. Dari majalah ini Jubing mulai mengenal beberapa progresi akord yang biasa digunakan.
Penampilan pertama Jubing di depan khalayak adalah ketika kelas 6 SD. Saat itu Jubing mengiringi teman-temannya bersama ensamble musik dari sekolahnya menyanyikan lagu “Dondong Opo Salak” di GOR Semarang saat porseni (pekan olahraga dan seni) sekolahnya.
Jubing mulai dibuat penasaran dengan komposisi gitar tunggal setelah mendengar cerita dari temannya yang mengatakan bahwa temannya itu pernah mendengar sebuah komposisi gitar klasik yang lengkap dengan melodi, bas, dan ritemnya sekaligus. Dari cerita itu Ia pun penasaran, Jubing mulai mencoba untuk memainkan gitar dengan melodi lengkap dengan iringannya dan pilihannya jatuh pada lagu “Ayam den Lapeh” yang sering dinyanyikan ibunya dengan iringan gitar. Menurutnya walaupun lagu itu mudah untuk dimainkan, melodinya masih terjangkau namun lagu itu terdengar enak. Jubing melatih permainannya setiap malam dan pada akhirnya eksperimen pertamanya berhasil juga.
Ketika Jubing menempuh pendidikan SMP-nya di SMP Domenico Savio, Semarang, Jubing untuk pertama kalinya menyaksikan permainan gitar klasik yang dimainkan oleh beberapa teman eskul ensamble-nya yang mengikuti kursus gitar klasik. Jubing benar-benar terpukau dengan permainan teman-temannya padahal yang dimainkannya hanyalah sebuah komposisi lagu sederhana yang khusus diciptakan untuk melatih siswa. Namun anehnya, mereka juga heran dengan Jubing yang dapat memainkan komposisi gitar tunggal tanpa kursus gitar klasik. Selain bergabung dengan ensamble, Jubing juga bergabung dengan band (dengan gitar listrik) dan grup vokal (dengan gitar klasik) di SMP-nya. Grup vokal tempat Jubing bergabung pernah sebanyak dua kali meraih juara satu pada lomba grup vokal se-Semarang.
Lama kelamaan hasrat Jubing untuk belajar gitar klasik sudah tak terbendung lagi, akhirnya Jubing pun meminta ijin kepada ayahnya untuk mengikuti kursus gitar klasik. Saat itu bagi Jubing merupakan permintaan yang sulit karena pada saat itu kondisi ekonomi keluarganya sedang pas-pasan. Mungkin karena ayahnya mengetahui bahwa Jubing memiliki niat yang sangat kuat untuk memperdalam gitar klasik, maka Ia pun diijinkan untuk mengikuti kursus.
Pada akhirnya di tahun 1981, Jubing memulai kursus gitar klasik pertamanya. Ia mengambil kursus di sekolah musik Yamaha Obor Mas, Semarang. Saat itu Jubing sengaja mengambil kelas non privat dengan durasi satu jam sehari yang terdiri dari 6 orang agar biayanya lebih murah. Di hari pertama kursus, gurunya yang bernama Suhartono Lukito mengecek satu persatu murid barunya apakah sudah ada yang pernah belajar gitar. Pada saat itu Jubing memainkan komposisi solo buatannya yaitu lagu “House of Rising Sun”, itu merupakan komposisi gitar tunggal kedua yang dapat dimainkannya setelah “Ayam den Lapeh”. Sekitar 6-7 bulan kemudian, guru Jubing menyarankannya agar Ia dipindahkan ke kelas privat. Jubing disarankan demikian karena menurut gurunya Ia memiliki potensi dan bakat yang besar pada bidang ini. Bisa jadi ini adalah bakat keturunan dari kedua orangtuanya, “Mungkin juga!” jawabnya dalam e-mail yang saya kirim dua minggu yang lalu, belum lagi faktor kerja keras juga berperan, dalam sehari Jubing dapat berhadapan dengan partitur dan memainkan komposisi yang dipelajarinya hingga 3-4 jam. Mengingat bakat yang dimiliki Jubing dan negosiasi antara gurunya dengan pihak sekolah musik Obor Mas, jadilah Jubing diberikan kelonggaran biaya kursus hingga mencapai 50% dan akhirnya Jubing pun kursus dalam format privat.
Road to be Master Guitarist
Pada tahun 1982, Jubing untuk pertama kalinya mengikuti YFGI (Yamaha Festival Gitar Indonesia). Saat itu Jubing baru berumur 16 tahun dan duduk di bangku kelas 1 SMA. Sebelumnya Jubing diperdengarkan oleh gurunya rekaman final YFGI 1980. Diantaranya Jubing mendengar gitaris Surabaya bernama Koe Tjoe Liang yang memainkan lagu tema “Hawaii Five O” dan meraih gelar juara 1. Selain itu Jubing juga mendengar permainan gitar dari Ricky Rusadi, adik dari seniman Ully Sigar yang memainkan lagu “Rock Around The Clock” dan meraih juara 2.
Pada saat itu Jubing disarankan oleh gurunya untuk mengikuti YFGI kategori lagu bebas. YFGI dibagi menjadi 2 kategori, pertama adalah kategori lagu klasik dan satunya lagi adalah kategori lagu bebas. Gurunya merasa bahwa Jubing lebih memiliki potensi pada kategori lagu bebas. Jubing pada YFGI-nya yang pertama ini mengandalkan lagu “Ayam den Lapeh” yang telah Ia beri tambahan sentuhan aransemen barunya.
Pada saat masuk SMA Jubing sudah dibelikan gitar baru bermerk Osmond, sebuah gitar buatan lokal. Berikutnya Jubing mendapatkan kembali gitar dari doorprize acara promosi sekolah musiknya dan kembali yang didapatnya adalah gitar bermerk Osmond dengan tipe yang lebih murah dari yang Ia dapatkan sebelumnya.
Selain akan memainkan lagu “Ayam den Lapeh” Jubing juga memilih satu lagu lagi yaitu lagu “Take My Hand For A While” karena saat itu peserta diwajibkan untuk menyiapkan 2 lagu. Untuk lagu ini Jubing membuat aransemen yang lebih sederhana dari lagu “Ayam den Lapeh”.
Pada saat itu Guru Jubing menyarankannya untuk memakai gitar lain yang lebih bagus karena ini untuk kompetisi selain itu gitar Osmond yang dimilikinya itu terbilang bersuara keruh dan agak sumbang. Sayangnya saat itu masih jarang ada gitar bagus di Semarang, beruntungnya pada saat itu juga ada seorang guru sekolah musik Obor Mas yang berkeinginan menjual gitarnya dengan harga dua ratus lima puluh ribu rupiah yang pada saat itu masih terbilang cukup mahal. Karena guru itu memahami kondisi finansial keluarga Jubing, guru itu memberikan kesempatan kepada Jubing untuk membayar gitar tersebut dengan cara mencicil selama satu tahun.
Ketika hari diadakannya YFGI hampir tiba, Jubing dan gurunya langsung berangkat ke Jakarta dengan menggunakan kereta api. Seingatnya, biaya perjalanan dan penginapan selama di Jakarta dibiayai oleh sekolah musik Obor Mas. Selain itu, ini adalah pengalaman pertama Jubing memijakan kakinya di ibukota.
YFGI dibagi menjadi dua babak yaitu babak penyisihan dan final. Saat itu penyisihannya dilakukan di YMI (Yayasan Musik Indonesia) Cabang Jalan Bumi, Jakarta Selatan. Saat itu Jubing melihat banyak gitaris-gitaris yang ikut serta yang dapat membuatnya terpukau. Saat giliran Jubing tiba, Jubing merasa tegang ketika harus tampil di hadapan para juri namun begitu, dua lagu tersebut dapat diselesaikannya dengan lancar. Malamnya Jubing pulang ke Semarang.
Sekitar seminggu kemudian Jubing mendengar bahwa Ia berhasil lolos ke babak final. Kebetulan saat itu semarang dipilih menjadi tempat penyelenggaraan babak final YFGI tahun 1982 jadi ketika itu Jubing sudah tidak perlu repot-repot lagi seperti babak penyisihan sebelumnya ketika Ia perlu datang ke Jakarta. Babk final diadakan di gedung BPD Semarang. Tidak seperti babak penyisihan sebelumnya yang dapat diselesaikannya dengan lancar, di babak final ini Jubing tidak tampil maksimal di lagu keduanya karena permainannya cenderung ngebut karena tegang akan banyaknya penonton yang membanjiri gedung. Kebetulan pada saat itu salah satu jurinya adalah Jaya Suprana yang juga dikenal sebagai pianis dan pengusaha perusahaan pembuat jamu yang pada akhirnya bertahun-tahun kemudian menjadi relasi dalam bermusik. Saat itu Jubing gagal meraih gelar juara. Gelar juara didapatkan oleh duet kakak beradik Mahesh dan Suresh dari Jakarta, memang ketika itu peserta diperbolehkan untuk tampil secara duet atau trio. Walaupun begitu Jubing tidak patah semangat, setidaknya pada saat itu Jubing sudah menyandang predikat sebagai finalis tingkat nasional.
Biarpun Jubing sudah menyandang status sebagai finalis tingkat nasional, Jubing tetap perlu mengikuti ujian demi ujian yang merupakan bagian dari program sekolah musik. Seperti halnya sekolah musik berlisensi yang lain, sekolah musik Yamaha juga memiliki beberapa tingkatan dalam hal kursus musik. Kursus gitar klasik diawali dengan grade 10 dan berakhir sampai grade 3 dan untuk mendapatkan sertifikat kelulusan setiap grade perlu dilakukan ujian untuk setiap grade-nya. Begitu juga Sekolah Musik Obor Mas, sekolah musik tempat Jubing belajar gitar klasik.
Jubing terbilang sangat hebat dalam meraih sertifikat demi sertifikat grade yang dilaluinya. Jubing dapat mendapatkan sertifikat demi sertifikat tersebut hanya dalam sekali ujian. Memang orang sekali ujian langsung lulus terdengar sangat biasa tetapi untuk lingkungan sekolah musik tersebut, asumsi tersebut hanya terjadi sekitar grade 10 sampai grade 6. Mengapa begitu? Grade 10 sampai grade 6 merupakan student grade atau grade untuk tingkatan siswa sedangkan grade 5 sampai grade 3 merupakan teacher grade atau grade yang diperuntukkan oleh para atau calon guru. Selain itu berbeda dengan ujian student grade yang diuji oleh penguji lokal, ujian teacher grade diuji oleh penguji dari Jepang. Tidak jarang orang harus mengikuti ujian berulang-ulang untuk mendapatkan sertifikat grade 5 saja. Bayangkan, grade 5 saja sulit apalagi grade 3! Tapi hal itu dapat dilalui oleh Jubing hanya dengan sekali ujian pada masing-masing grade-nya. Sampai saat ini di Indonesia untuk gitar klasik hanya beberapa orang yang sudah berhasil mendapatkan sertifikat grade 3.
Bahkan yang lebih menarik Jubing dapat menyelesaikan ujian grade 5 nya saat masih duduk di bangku kelas 3 SMA, yang lebih menariknya lagi, ujian tersebut dilakukan sehari sebelum EBTANAS. “Rasanya sih ujian itu lebih penting ketimbang
EBTA, hehe...,” tambahnya di e-mail yang dijawabnya.
Selain gitar klasik, Jubing juga memainkan alat musik lain ketika di SMA. Ia memainkan bas di band sekolahnya. Bahkan Jubing pernah menjadi bassist terbaik dalam sebuah festival band se-Kotamadya Semarang.
Di SMA Jubing mendapatkan pengalaman dimana Ia harus membentuk sebuah ensamble gitar tampil dalam rangka ulang tahun sekolahnya di GOR Semarang. Dalam membentuk ensamble ini Jubing mengalami beberapa kesulitan mulai dari tidak semua orang mampu membaca notasi balok sampai level permainan yang berbeda-beda setiap orangnya.
Jubing pun kembali tampil pada YFGI tahun 1983 dan kembali harus puas hanya dengan menjadi finalis. Tahun 1984 ada perkembangan, Jubing mendapatkan juara 2 dengan lagu “Salamku Untuknya” yang dipopulerkan oleh Vina Panduwinata dan lagu “April in Portugal”. Di tahun ini Jubing juga mendapatkan sebuah penghargaan besar dimana Ia dipercaya untuk tampil pada festival gitar tingkat Asia Tenggara yang pada saat itu akan diadakan di Hong Kong lantaran juara tahun sebelumnya yang berformat trio sudah bubar.
Jubing pun akhirnya berangkat ke Hong Kong dengan Lenny Astuti, juara YFGI kategori lagu klasik tahun sebelumnya serta didampingi oleh Pak Danny dan Bu Tatang dari sekolah musik Obor Mas. Selama di Hong Kong, Jubing lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar hotel untuk latihan. Gawatnya, ketika hari pertunjukan pada tanggal 9 Desember 1984 sudah sebentar lagi Jubing malah demam mungkin karena faktor iklim dimana saat itu merupakan musim dingin di Hong Kong. Saat itu Jubing membawakan lagu jazz “Captain Caribe” dan lagu pop “We’re All Alone”. Walaupun dalam keadaan kurang sehat tapi Jubing dapat meraih gelar juara 2 dimana ketika itu juara 1 nya adalah orang perwakilan dari Singapura. Walaupun ketika itu Jubing hanya dapat meraih juara kedua tapi rekan seperjuangannya Lenny Astuti meraih Grand Prize Winner dan mendapatkan hadiah sebuah gitar Yamaha merk Grand Concert yang harganya terbilang cukup mahal.
Pada tahun 1985, Jubing meninggalkan Semarang dan bertandang ke Jakarta untuk kuliah di Jurusan Kriminologi UI (Universitas Indonesia) dan dengan kata lain meninggalkan juga kursus gitar klasik di Semarang. Walaupun begitu, hal ini tidak membuat Jubing melupakan gitar, Ia tetap melatih permainannya di sela-sela kesibukan kuliahnya.
Di tahun 1986 Jubing kembali mengikuti YFGI dan kembali berhasil masuk final. Walaupun Ia sudah tidak kursus di sekolah musik Yamaha tapi Ia masih bisa tetap mengikuti YFGI karena YFGI merupakan sebuah kompetisi terbuka yang juga membuaka kesempatan kepada orang-orang yang bukan berasal dari sekolah musik berlisensi Yamaha. Pada saat itu final diadakan di Eramus Huis, Jakarta dan Jubing memainkan lagu “Madu dan Racun” dan “Hai Becak”. Pada YFGI kali ini Jubing harus puas hanya dengan gelar juara 2 padahal Ia pernah meraih juara di tingkat Asia Tenggara walaupun juga juara 2.
Di tahun 1987 untuk pertama kalinya Jubing mendapatkan juara pertama. Pada saat itu Jubing memainkan lagu “Rame Rame” dan “Naik Delman”. Lagu-lagu itu diberikan berbagai sentuhan variasi dan teknik gitar klasik. Jubing mendapatkan sebuah organ mini sebagai hadiah yang kemudian dijualnya untuk menyambung kontrakan di Depok.
Semua kompetisi YFGI yang diikuti oleh Jubing merupakan YFGI dalam kategori lagu bebas. Jubing lebih menyukai sebuah aransemen lagu karyanya sendiri. Selain itu dia juga menambahkan bahwa persaingan dalam kategori klasik lebih keras karena pesertanya yang lebih banyak dari kategori lagu bebas. “Pesertanya jauh lebih banyak dan juga saat itu mereka umunya sudah senior dan berpengalaman baik dalam hal skill maupun pengalaman musik,” tambahnya lagi.
Banyak pengalaman berharga yang terjadi di tahun 1987, mulai dari mengajar les gitar klasik, ngeband di kampus, diajak rekaman sampai bermain gitar di restoran. Ketika itu Jubing diminta oleh Renee Nessa Sahir, seorang gitaris yang sekarang menetap di Amerika Serikat untuk menggantikannya di Restoran Indonesia Petroleum Club (IPC) untuk bermain gitar di malam hari untuk menghibur para pengunjung, ketika itu Renee hendak merantau ke Amerika.
Di tahun 1991 Jubing absen mengikuti YFGI karena Ia sedang sibuk dan lebih bekonsentrasi dalam menyelesaikan kuliahnya. Selain itu Ia juga memiliki kesibukan baru yaitu sebagai guru eskul gitar di SMP dan SMA Kolose Kanisius. Lewat Kolose Kanisius ini Jubing kembali mendapatkan pengalaman membuat sebuah ensamble gitar pada tahun 1988 yang sama-sama dibentuk dalam rangka perayaan ulang tahun sekolah.
Lulus kuliah Jubing bekerja di Tabloid Nova sebagai reporter. Menurut Jubing menjadi reporter termasuk menyenangkan karena dapat bertemu dengan banyak orang dari berbagai elemen masyarakat dan mengunjungi berbagai tempat dari yang termewah sampai yang terkumuh. Di sela-sela kesibukannya sebagai reporter Jubing masih tetap menyempatkan dirinya untuk bermain gitar. Jubing bahkan kembali meraih juara 1 di tiga kali YFGI di tahun 1992, 1994, dan 1995. Mungkin YFGI tahun 1994 adalah YFGI yang paling tidak terlupakan bagi beberapa orang yang menontonnya. Pada YFGI ini Jubing memainkan sebuah komposisi yang bisa dibilang paling “heboh” dari komposisinya yang lain, lagu tersebut adalah lagu “Mission Impossible” sebuah soundtrack dari serial TV dan film yang sangat populer. Bahkan bisa dibilang bila orang menyebut nama Jubing, lagunya yang terlintas pertama kali di pikiran adalah “Mission Impossible”. Tentu saja lagu ini bisa dibilang “heboh”, bagaimana tidak heboh kalau lagu sejenis itu dapat dimainkan lengkap ritem, kord, dan melodinya dalam sebuah gitar klasik? Tetapi sayangnya lagu ini tidak seperti beberapa komposisi Jubing yang lain yang ditulis ke dalam notasi balok. Jubing mengaku sampai sekarang masih malas membuat partitur lagu ini karena kerumitan penulisannya.
Lambat laun peserta YFGI untuk kategori lagu bebas semakin sedikit dan akhirnya setelah YFGI 1995, kategori lagu bebas ditiadakan dan hanya dilangsungkan YFGI untuk kategori lagu klasik.
Pada tahun 1998 Jubing memutuskan untuk kembali menekuni gitar klasik secara formal dengan Arthur Sahelangi, guru gitar dari Yamaha Pusat yang nantinya terkadang akan menjadi rekan Jubing ketika menguji murid-murid saat dilangsungkan ujian. Saat itu Jubing punya rencana untuk mengambil ujian Grade 4 dan mereview ulang bahan materi yang pernah dipelajarinya sebelumnya.
Di tahun 2000 Jubing berkesampatan untuk tampil dalam sebuah konser besutan Arthur Sahelangi yang menampilkan beberapa gitaris yang pernah menjuarai YFGI. Konsernya diadakan pada tanggal 22 Oktober dan 28 Oktober 2000 di Jakarta dan Surabaya. Konser ini menampilkan Nelson Rumantir, Rahmat Raharjo, Fernandez Setiahadi Candra, Ridwan Tjiptahardja, dan Wildan Kamil Arifin. Semuanya adalah juara YFGI untuk kategori klasik kecuali Jubing dan Nelson Rumantir yang juara untuk kategori bebas. Konser ini masih diadakan sampai tahun 2004.
Tahun 2003 Jubing meninggalkan jabatannya sebagai redaktur pelaksana di Tabloid Nova dan beralih menekuni gitar.
Setelah keluar dari Tabloid Nova, Jubing kemudian memilih menjadi guru gitar dan kembali meneruskan studi gitarnya. Jubing kembali mengambil ujian dan kembali dinyatakan lulus dengan sertifikat grade 3.
Sekarang…..
Mulai tahun 2000 Jubing menampilkan aransemen lagu-lagunya secara bebas dan gratis lewat media internet. www.geoctites.com/jubing sudah banyak dicantumkan dan diakui oleh berbagai website gitar klasik dari berbagai negara sebagai website rujukan.
Selain menjadi guru gitar Jubing juga memiliki kesibukan lain dengan bergabung bersama Kwartet Punakawan. Kwartet Punakawan adalah kelompok musik yang dibentuk oleh Jaya Suprana. Awal mulanya Jubing bergabung dalam kelompok ini sebenarnya adalah dari perkenalannya dengan Jaya Suprana di tahun 1982 ketika Jaya Suprana menjadi juri pada final YFGI 1982. Tiba-tiba pada tahun 2005 Jubing ditelepon oleh Jaya Suprana untuk diajak bergabung dalam Kwartet Punakawan dan mencari dua musisi lagi untuk ditempatkan pada drum dan bas. Padahal pada rentang waktu antara 1982 sampai 2005 mereka hanya bertemu sesekali ketika Jubing harus mewawancara beliau sebagai wartawan. Pernah juga sekali saya lihat Jubing tampil di acara yang dibawa oleh Jaya Suprana di TVRI untuk menampilkan permainan gitar klasiknya yang di awal minibiografi sudah saya katakan.
Selain itu Jubing juga sedang dalam tahap penggarapan album solo gitarnya. Dengan album ini Jubing berharap agar gitar klasik dapat diposisikan yang pantas di masyarakat.
Kosakata
Ø Akord = Kesatuan bunyi dalam musik yang mengandung 3 not atau lebih sesuai dengan interval nada.
Ø Ensamble = Sekelompok musisi yang bermain bersamaan dengan jumlah yang tidak terlalu banyak.
Ø Partitur = Lembaran berupa notasi sebuah karya musik untuk membantu musisi memainkan musik tersebut.
Ø Lagu Tema = Karya musik yang didasari oleh sebuah tema dan dilalui oleh variasi-variasi dari tema tersebut.